Senin, 02 September 2019

tugas nadilla zafira 11ips2



Dilema Kepentingan Buruh dan Politik Indonesia


Kepentingan politik atau kepentingan kesejahteraan bagi buruh di Indonesia menjadi bahan pertimbangan yang cukup dilematis. Tak bisa dipungkiri kepentingan politik juga didasari oleh perjuangan para buruh untuk mendapatkan kesejahteraan. 


Partai Buruh di Indonesia sempat meramaikan panggung politik di Indonesia dan menjadi peserta Pemilu di tahun 1999, 2004 dan 2009 dengan menggunakan nama yang berbeda yaitu Partai Buruh Nasional, Partai Buruh Sosial Demokrat dan Partai Buruh. 


Kini status buruh cenderung menjadi komoditas dari kepentingan politik praktis. Tak ada jaminan serikat pekerja mendekati kelompok elite partai politik bisa memperjuangkan hak buruh, pun tak ada jaminan dukungan buruh tidak dimanfaatkan sebagai kendaraan elite partai politik untuk meraih suara.



'Suara' yang Tak Terdengar 


Dosen Ketenagakerjaan Pascasarjana Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pergerakan serikat buruh di Indonesia tidak lagi efektif memfasilitasi kepentingan buruh dan malah cenderung mendekati kepentingan politik dengan berafiliasi dengan partai politik. Kepentingan untuk memperjuangkan hak sesama buruh selama ini dianggap tak terakomodasi dengan baik. 


"Dia kalau dekat dengan parpol tentunya kurang proporsional, karena dijadikan 'kendaraan' untuk menggerakkan massanya. Lebih baik buruh tidak membuat serikat buruh yang seperti itu, (tapi) lebih ke independen," kata Trubus saat tanya 


Politik alternatif sekarang menjadi sarana yang penting bagi serikat buruh di Indonesia untuk bisa bersuara, di tengah kepentingan-kepentingan coba terus menekan mereka, terutama dari elite pengusaha dan partai politik. 


Tak hanya itu, sikap dari buruh yang sudah antipati atau dari pihak pengurus serikat buruh sendiri terus dipengaruhi kepentingan politik yang bersifat transaksional.


"Tentu pemikiran alternatif ini jadi signifikan, karena bagaimanapun buruh-buruh semua belum tentu suka politik. Karena sekarang lebih niatnya kesejahteraan, mereka yg sikapnya apolitik tidak suka politik. Biasanya pengurusnya sudah melalui pelatihan-pelatihan teknik atau apapun namanya itu, terus akhirnya dicekoki kepentingan politik itu. Itu yang terjadi," kata Trubus.


Membentuk serikat buruh yang independen sangat mustahil dilakukan di Indonesia, permasalahannya selain yang sudah disebutkan, juga ada urusan pembiayaan operasional. Trubus menyebut pembiayaan operasional di dalam serikat buruh di Indonesia tidak lepas dari donasi elite pengusaha atau elite partai politik yang menjadikannya tidak bisa berdiri sendiri. 


Bahkan untuk bisa berdiri sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak elite yang berkepentingan nampaknya juga tidak mudah, selain masalah pembiayaan juga karena sudah tidak ada lagi tokoh yang bisa menjadi motor di dalam serikat buruh sendiri.


"Kalau sekarang mau bergerak dia harus lepas dari politik. Satu harus mencari sosok yang bisa memperjuangkan kepentingan dirinya, buruh sendiri. Satu perjuangan sendiri ditengah kepentingan politik lebih menonjol ketimbang kepentingan kesejahteraannya," ujar Trubus Rahadiansyah. 


Trubus juga menyayangkan mental buruh sekarang tidak lagi mengedepankan perjuangan tanpa pamrih. Dia membandingkannya dengan saat perjuangan yang dilakukan oleh Marsinah, tokoh buruh wanita yang dibunuh karena menuntut hak kesejahteraan bagi kelompoknya.


"Mental-mental buruh sekarang mentalnya beda pada saat zaman Marsinah dulu, yang nilai juangnya sebagai perjuangan tanpa pamrih. Nah sekarang nilai-nilai Marsinah sudaheng gak ada. 


"Sekarang demo-demo pada saat May Day lebih banyak tuntutan politik bukan tuntutan kesejahteraan, tapi memang berangkatnya dari titik kesejahteraan, tapi kemudian setelah itu larinya ke politik karena kesejahteraan sudah cukup," ujarnya.


Saran yang diberikan oleh Trubus untuk pergerakan politik alternatif dari serikat buruh adalah melakukan konsolidasi internal, seperti melakukan dialog bersama yang akhirnya menjadi paguyuban yang tak bersifat formal sebagai wadahnya. 


"Melakukan konsolidasi internal, melakukan dialog-dialog kemudian sharing pengalaman yang kemudian ada wadahnya yang bentuknya paguyuban. Jangan membuat paguyuban yang sifatnya formal. Kan kayak arisan karena ada kesadaran untuk memperjuangkan," kata Trubus. 

Sent from my iPhone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar